Senin, 01 April 2013

Cerita Dongeng Nyi Ageng Serang, Srikandi Berkuda Pembela Ngayogyakarta Hadiningrat

http://api.ning.com/files/tca4mJUIkSyQEpAFy-l4kZLHjT6uCirRDeKzrVNFZRgastrJC-Z1hvGjbT9bBR1MybanHCduZP*afzEFSx4ZKcbjG6sN6x62/Nyi_Ageng_Serang.jpg

Sangat sedikit perempuan Jawa di abad ke-17 yang ahli berkuda. Lebih sedikit lagi perempuan Jawa yang ahli berkuda dan mahir memimpin perang. Pada masa itu, perempuan Jawa terkena tradisi pingit sejak berumur 9 tahun. Sehingga wajar tak banyak perempuan Jawa yang bisa berkiprah di masyarakat terlebih lagi di medan perang. Yang sedikit diantara yang paling sedikit-bahkan mungkin satu-satunya-tertoreh sebuah nama agung Nyi Ageng Serang.
Beliau tak hanya mahir berkuda dan pakar strategi perang, tetapi juga pakar pemerintahan tanpa mengesampingkan nilai-nilai kewanitaannya. Jika kebanyakan perempuan Jawa mengenakan kebaya dan kain, maka Nyi Ageng Serang mengenakan celana panjang. Dia terlihat begitu gagah menaiki kuda memimpin pasukannya. Dengan tombak di tangan kanan dan tali kekang kuda di tangan kiri, beliau memimpin pasukannya menyerang VOC Belanda.
Nyi Ageng Serang memiliki nama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Beliau lahir pada tahun 1752 di Serang, Purwodadi, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Pangeran Ronggo Natapraja  atau biasa disebut Panembahan Ageng Serang. Ayahnya adalah seorang bupati  yang menguasai wilayah terpencil dari kerajaan Mataram tepatnya di Serang-Jawa Tengah.
Pada masa pemerintahan Panembahan Ageng Serang ini sedang terjadi pemberontakan besar-besaran terhadap VOC Belanda dan kerajaan Mataram. Pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi ini diikuti oleh semua bupati yang memiliki rasa patriotisme. Pangeran Mangkubumi adalah seorang putera raja Mataram yaitu Sunan Amangkurat IV.
Meski seorang putera raja Mataram, tapi Pangeran Mangkubumi sangat dekat dengan rakyatnya. Dalam Serat Cebolek dikisahkan bahwa Pangeran Mangkubumi sangat rajin beribadah, sholat lima waktu berjamaah, puasa Senin-Kamis, mengaji kitab suci Al Qur’an, dan suka beramal sholeh ( kebajikan ). Selain itu, Pangeran Mangkubumi juga senang mengembara untuk menuntut ilmu dan mengadakan pendekatan pada masyarakat. Beliau juga gemar  memberikan pertolongan pada yang tidak mampu dan lemah.
Pangeran Mangkubumi yang mempunyai nama kecil BRM. Sujono ini sangat benci terhadap penjajah Belanda. Sifat ksatrianya ini sangan berlawanan dengan saudaranya yang diangkat menjadi raja Mataram setelah ayahnya wafat  yaitu Sunan Pakubuwono II. Jika Pangeran Mangkubumi sangat benci dan menentang segala bentuk campur tangan Belanda di kerajaan, maka Sunan Pakubuwono II justru sangat lemah. Pakubuwono II yang bernama asli GRM.Proboyoso sangat lunak dan bersahabat dengan Belanda. Pada masa kepemimpinan Pakubuwono II yang lemah inilah kerajaan Mataram menderita kerugian wilayah yang sangat banyak. Seluruh pesisir utara pulau Jawa dan tanah Madura diserahkan kepada VOC Belanda (Perjanjian Ponorogo 1743 dan Perjanjian 18 Mei 1746). Untuk pengangkatan Patih juga harus melalui persetujuan VOC Belanda. Jadi dapat dikatakan Sunan Pakubuwono II hanya boneka, dan penguasa sesungguhnya kerajaan Mataram adalah VOC Belanda.
Tak puas hanyai memiliki pesisir utara Jawa dan tanah Madura, VOC Belanda memaksa Sunan Pakubuwono II yang sedang sakit keras untuk menandatangani perjanjian baru. Dalam perjanjian baru ini disebutkan bahwa seluruh wilayah kerajaan Mataram adalah milik VOC Belanda. Dan seluruh  keturunan Sunan Pakubuwana II dapat menduduki tahta atas pinjaman dari VOC. Sunan Pakubuwono menandatangani perjanjian tersebut pada 16 Desember 1749. Tak berapa lama kemudian Sunan Pakubuwono II wafat.
Kebencian yang sangat mendalam terhadap Belanda dan kerajaan yang lemah, menyebabkan Pangeran Mangkubumi keluar dari kerajaan Mataram. Ia memimpin pemberontakan. Pada tahun 1746,  Pangeran Mangkubumi baru memiliki 3000 orang prajurit. Kemudian di tahun 1747 meningkat jadi 13.000 orang prajurit diantaranya terdapat 2500 pasukan berkuda. Tiga belas tahun kemudian yaitu tahun 1750 pengikut Pangeran Mangkubumi  meningkat, karena dukungan penuh dari rakyat. Pangeran Mangkubumi menunjuk Panembahan Ageng Serang ayahnda Nyi Ageng Serang sebagai salah satu panglima perangnya.
Dalam suasana pemberontakan inilah Nyi Ageng Serang tumbuh dewasa. Sebagai seorang puteri bupati sekaligus panglima perang, ia belajar segala hal disiplin keprajuritan.  Ia belajar berkuda, memanah, dan menggunakan senjata lainnya. Keluarga Nyi Ageng Serang merupakan pendukung setia Pangeran Mangkubumi hingga akhir hayatnya.
Kerajaan Mataram dan VOC Belanda kewalahan menghadapi pemberontakan Pangeran Mangkubumi. Sunan Pakubuwono II sudah mangkat dan diganti oleh Sunan Pakubuwono III. Tapi karakter Sunan Pakubuwono III  pun tidak jauh berbeda dengan ayahnya, menjadi boneka kompeni Belanda. Akhirnya Belanda mengajak berdamai. Pangeran Mangkubumi diundang ke kerajaan Mataram untuk berunding. Perundingan di desa Giyanti ini menghasilkan  Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755). Isi dari Perjanjian Giyanti yaitu :
  1. 1.        Pangeran Mangkubumi mendapatkan separo dari kerajaan Mataram
  2. 2.        Pengeran Mangkubumi akan memakai gelar Sultan
  3. 3.        Daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh raja-raja Mataram terdahulu pada kompeni, tetap dikuasai oleh kompeni.
  4. 4.        Ganti Kerugian sebanyak 20.000 real dari kompeni yang diterima oleh raja-raja Mataram terdahulu terhadap ganti rugi daerah pesisir itu, separo diberikan pada Pangeran Mangkubumi setiap tahunnya. ( 10.000 real/tahun ).
  5. 5.        Separo dari pusaka-pusaka kraton Mataram diberikan pada Pangeran Mangkubumi.

Setelah penandatanganan perjanjian Giyanti tersebut, Pangeran Mangkubumi mendirikan kerajaan baru yaitu Ngayogyakarta Hadiningrat. Kerajaan baru ini tetap merupakan bagian dari kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta. Setelah menjadi Raja, Pangeran Mangkubumi bergelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Khalifatullah.
Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengku Buwono I ini berpindah ke daerah Yogyakarta beserta seluruh pengikutnya, termasuk Nyi Ageng Serang. Setelah suasana damai, Nyi Ageng Serang kembali ke daerahnya di Serang-Purwodadi. Ayahnya telah meninggal dalam salah satu pertempuran. Kemudian ia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati Serang.
Sultan Hamengkubuwono I tetap menunjukan sikap kooperatif terhadap kompeni. Ia menolak campur tangan kompeni dalam masalah internal kerajaan. Ia juga sering mengadakan perlawanan terhadap Belanda bersama pasukannya.
Waktu itu Nyi Ageng Serang sudah dewasa dan menjadi prajurit handal. Ia beserta ayahnya (Panembahan Ageng Serang) dan kakaknya (Kyai Ageng Serang) selalu berada dalam barisan terdepan pembela kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Ia adalah satu-satunya prajurit perempuan berkuda. Kemahirannya berkuda dan memainkan senjata menyebabkan ia menjadi prajurit kehormatan.
Nyi Ageng Serang sangat membenci tindakan Belanda yang semakin semena-mena. Setelah berhasil memecah kerajaan Mataram, Belanda merampas tanah-tanah rakyat jelata untuk dijadikan perkebunan pengusaha-pengusaha Belanda.  Kemarahan rakyat meluap akhirnya meletuslah Perang Diponegoro (1825-1830).
Perang ini dipimpin oleh Raden Mas Ontowiryoa atau biasa disebut Pangeran Diponegoro. Ia adalah seorang Pangeran dari kerajaan Ngoyogyakarta Hadiningrat yang sangat relijius. Memang Sultan Hamengkubuwono I mendidik seluruh keturunannya untuk berada dalam ketaatan kepada Alloh. Beliau juga menanamkan kebencian mendalam terhadap penjajah kompeni Belanda. Sehingga tidak mengherankan apabila pihak intern kerajaan lah yang mulai mengobarkan perang terhadap Belanda.
Nyi Ageng Serang diangkat oleh Pangeran Diponegoro sebagai pinisepuh. Pengalamannya berperang puluhan tahun bersama Pangeran Mangkubumi menjadikan ia seorang ahli strategi.  Pangeran Diponegoro selalu mendengarkan nasihat-nasihat Nyi Ageng Serang. Waktu itu usia Nyi Ageng Serang sudah 73 tahun, tapi semangatnya tetap menyala-nyala. Dialah yang memimpin pasukan “Siluman”.  Sebuah pasukan gerak cepat yang menggetarkan Belanda.
Dengan didampingi cucunya Raden Mas Papak  ia memimpin gerilya di daerah Serang, Purwodadi, Gundih, Semarang, Demak, Kudus, Juwana, dan Rembang. Dalam perjalanan panjang tersebut ia ditandu oleh pasukannya. Meski ditandu bukan berarti ia menjadi beban. Justru keberadaannya sangat berarti bagi pasukannya. Ia menjadi pimpinan, ahli strategi, dan pengobar semangat pasaukannya. Bahkan ketika perang gerilya di sekitar desa Beku, Kabupaten Kulon Progo, ia memimpin langsung pasukannya.
Pangeran Diponegoro pernah menugaskan pasukan Nyi Ageng Serang untuk mempertahankan daerah Prambanan yang telah direbut oleh Tumenggung Suronegoro. Nyi Ageng Serang dan pasukannya mempertahankan  daerah tersebut dengan penuh kesiagaan.
Meski secara fisik sudah tua dan fungsi panca inderanya menurun, tetapi kecerdasan Nyi Ageng Serang tak pernah ikut menurun.Dia menggunakan berbagai macam strategi dalam perang Diponegoro ini. Salah satunya yaitu strategi jitu penggunaan daun talas  (Bhs. Jawa: Lumbu). Dengan daun talas itu Nyi Ageng memerintahkan pasukannya melindungi kepalanya untuk penyamaran. Sehingga dari kejauhan tampak seperti kebun tanaman talas. Mereka mengendap-endap memasuki wilayah musuh. Kemudian musuh akan diserang dan dihancurkan bila sudah dekat dan dalam jarak sasaran.
Pangeran Diponegoro sangat menghormati Nyi Ageng Serang. Berbagai strategi yang dipakainya sering menghantarkan pasukan pada kemenangan. Sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan kepada Nyi Ageng Serang, maka Pangeran Diponegoro  mengangkat Nyi Ageng menjadi salah seorang penasehatnya. Kedudukan Nyi Ageng sebagai penasehat sejajar dengan Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Joyokusumo dalam siasat perang.
Setelah tiga tahun mengikuti perang Diponegoro, Nyi Ageng Serang dilanda sakit-sakitan. Kondisi fisik yang sudah tidak muda serta kerasnya kehidupan perang gerilya membuat ia jatuh sakit. Akhirnya Nyi Ageng mengundurkan diri dari medan pertempuran. Setelah itu ia menetap di rumah keluarga Nataprajan di Yogyakarta. Dalam masa sakitnya ia tetap mengobarkan semangat jihad fi sabilillah kepada para penjenguknya. Ia berpesan jangan sampai takluk kepada Belanda. Lebih baik mati syahid daripada hidup dibawah cengkeraman penjajah.
Setelah mengalami sakit beberapa bulan, akhirnya Nyi Ageng  wafat tahun 1828 pada usia 76 tahun. Pada saat kepergiannya, Perang Diponegoro masih berlangsung dengan sengit. Sesaat sebelum kematiannya ia berpesan kepada para laskarnya agar jasadnya dikebumikan di desa Beku kabupaten Kulon Progo. Desa Beku adalah desa yang berhasil direbutnya semasa perang gerilya. Ia ingin selalu menyatu dengan perjuangan. Ia tak sudi jasadnya dikebumikan di tanah yang dikuasai Belanda.
Sungguh hebat rasa patriotisme srikandi dari Ngayogyakarta Hadiningrat ini. Semangatnya tetap berkobar hingga ajal menjemputnya. Untuk menghormati jasa-jasanya, pemerintah mengangkatnya sebagai salah satu  Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 084/TK/Tahun 1974, tanggal 13 Desember 1974. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta pun menghormatinya dengan membuat monumen Nyi Ageng Serang di proliman jalan raya Wates-Jogja. Monumen tersebut  berupa patung beliau yang sedang menaiki kuda dengan gagah berani serta membawa tombak.

Sumber Klik Di sini

Cerita Dongeng Nyi Ageng Serang, Srikandi Berkuda Pembela Ngayogyakarta Hadiningrat Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 komentar:

Posting Komentar